Jumat, 30 Desember 2011

Tanya Mui, Apa Hukum Ngimpor Barang Yang Sudah Ada Di Sini?



Rembang, 30/12/2011. Gus Mus atau KH. Mustofa Bisri, pengasuh pondok pesanteren Raudatuththolibin, Rembang, setelah diam sejenak tiba-tiba berucap ,". Coba datangi MUI minta mereka mengeluarkan fatwa, apa hukumnya jika kita ngimpor barang-barang yang sudah ada di sini, yang kita bisa buat sendiri?". Gus Mus menuturkan kalimat itu sebagai respon dari uraian perjalanan Gerakan Beli Indonesia yang disampaikan Aswandi As'an, Tim Beli Indonesia yang bertandang menemui kyai "Mata Air" itu. Aswandi datang bersama dua orang Tim Beli Indonesia, Ahmad Nur Sodik dan M. Syubhan. Kedatangan tiga orang ini adalah dalam rangkaian road show Beli Indonesia ke para Kyai pesanteren di sepanjang pantai utara pulau Jawa dan Jawa Timur bagian selatan.

Dengan keadaan Indonesia menjadi pengimpor hampir semua produk pertanian seperti saat ini, Gus Mus mengatakan seharusnya semua pemimpin ummat baik formal dan non formal harus turun tangan. Terlebih para ulama yang memiliki pengaruh untuk mencegah terjadinya arus impor barang secara tidak terkendali. "MUI sebagai lembaganya para ulama jangan sekedar menjadi lembaga label saja, tetapi juga harus bisa melihat hal-hal yang lebih substansial terhadap ekonomi bangsa," tegasnya. Perbincangan Tim Beli Indonesia dengan Gus Mus yang berlangsung sekitar satu jam itu berakhir setelah Aswandi dan kawan-kawan pamit. "Gus, ini ada beberapa buku tentang Beli Indonesia dan buku-buku lain yang kami susun untuk gerakan ini. Dan ini kopi Cordova, salah satu produk yang kami buat untuk menyemangati anak-anak muda kita untuk berbisnis," kata Aswandi sembari menyerahkan bingkisan kepada Gus Mus. Ketiganya kemudian pamit untuk melanjutkan perjalanan menuju Timur ke arah Lasem. 

Di Lasem Tim Beli Indonesia bertemu dengan Gus Qoyyum, pengasuh pesanteren An-nur. Kyai Muda yang memiliki ribuan jemaah ini sempat memimpin doa untuk gerakan Beli Indonesia. "Mudah-mudahan Allah ridho atas semua perjuangan njenengan," katanya usai berdoa. Dari Lasem perjalanan berlanjut ke Tuban. Di sebuah desa nelayan di pinggiran kota Tuban, tim Beli Indonesia bertemu dengan dua orang kader Nahdhatul Ulama yang menjadi penggerak masyarakat pesisir daerah itu. Pertemuan dengan kedua orang ini cukup lama hingga menjelang malam. Bahkan Tim Beli Indonesia baru diijinkan berlalu setelah makan malam terlebih dahulu. Meski baru pertama kali namun pertemuan berlangsung seperti teman lama. "Kalau ke sini lagi akan saya pertemukan dengan beberapa kyai dan tokoh dan ulama yang ada di wilayah ini. Sayang kalau dilewatkan apalagi salah satu misi Beli Indonesia ini untuk membangkitkan ekonomi bangsa ini," kata ustadz Aziz ketika Tim Beli Indonesia berpamitan. 

Menjelang tengah malam tim Beli Indonesia berhenti di Paciran, satu kawasan tempat pesantren Sunan Drajat berada. "Kita bicara besok saja, malam ini biar istirahat dulu saja. Kebetulan saya juga harus memberi ceramah di kampung sebelah," kata KH. Ghofur saat menemui tim di halaman pesanteren itu. Sunan Drajat adalah pesanteren besar dengan 8.000 santri. Kyai Ghofur, pengasuh pesanteren ini mengembangkan beberapa unit usaha untuk membiayai pesanteren ini. Mulai dari pertanian, air dalam kemasan hingga ke mini market. Pertemuan dengan Kyai Ghofur berlangsung hampir setengah hari yang diakhiri dengan makan siang. 

Perjalanan Tim Beli Indonesia berlanjut ke Gresik di pesanteren Maskumambang di kecamatan Dukun. Tim Beli Indonesia bertemu dengan H. Fatihuddin Munawir, dan dewan guru pesanteren itu. H. Fatihuddin sendiri adalah menantu dari KH. Nadjih Ahjad, pengasuh pesanteren Maskumambang. Dari Maskumambang perjalanan berlanjut ke pesanteren Qomaruddin, Bungah, Gresik. Pertemuan dengan KH. Qomaruddin berlangsung di kamar pribadinya. Tahun-tahun terakhir ini Kyai itu hanya berada di tempat tidur karena sakit pada kedua kakinya, meskipun fisiknya terlihat sangat sehat. "Semua aktifitas saya lakukan di sini dengan ditemani anak bungsu saya," katanya tentang kondisinya itu. Di ujung pertemuan yang sangat mengharukan itu, KH. Qomaruddin memanjatkan doa yang diamini oleh Aswandi, Sodik dan Subhan yang duduk mengitari kyai itu. 

Dari Gresik perjalanan langsung menuju Pasuruan ke pesanteren Sidogiri. Di tengah jalan menjelang maghrib, tim berhenti di markas supporter bola Pasuruan dan sekitarnya. Di sebuah mesjid kecil para pimpinan supporter itu duduk mengelilingi meja dengan Alqur'an di depan masing-masing. Mereka sedang menyimak rekannya yang sedang membaca Alqur'an. "Ayo cak gabung nang kene. Iki islam anyar kabeh iki," kata seorang laki-laki kurus dengan tangan bertato begitu melihat Tim Beli Indonesia memasuki beranda mesjid itu. Usai semaan Alqur'an itu, supporter itu menceritakan kegiatan mereka kepada Tim Beli Indonesia sambil menikmati kopi Cordova yang dibawa dari Jakarta.

Pukul 21.20 WIB, tim tiba di kediaman KH. Mahmud Ali Zein, tokoh di balik gerakan ekonomi pesanteren Sidogiri. Dari tangan orang ini pesanteren Sidogiri telah memiliki 34 gerai minimarket kopontren Sidogiri yang tersebar di beberapa kota di Jawa Timur dan memiliki 300 lebih BPR Syariah dengan omset per November 2011 sudah mencapai Rp. 2 triliyun. Gerakan Beli Indonesia di Jawa Timur dan sekitarnya berkembang pesat dari pesanteren ini. Air munum "santri" yang diproduksi oleh pesanteren ini menjadi salah satu produk pelopor gerakan Beli Indonesia. KH. Mahmud Ali Zein sendiri adalah dewan nasional Gerakan Beli Indonesia. Setiap bulan mereka mengirimkan tim trainer ke beberapa daerah yang ingin mengembangkan lembaga keuangan syariah. "Semua bermula dari niat para ustadz pesanteren ini untuk membebaskan para pedagang dari jeratan para rentenir," kata H. Mahmud. 

Dari Pasuruan perjalanan melaju ke arah Malang, Blitar, Kediri, Nganjuk, Madiun, Jogjakarta, Pekalongan dan Cirebon. Sama seperti kota-kota lain setiap kota yang disinggahi tim bertemu dengan para tokoh alim ulama untuk memperbincangkan tentang semangat Beli Indonesia. (AA).

Selasa, 20 Desember 2011

Indonesia Membutuhkan Pemimpin Kuat Berkarakter


Bandung,20/12/2011. Sebagai sebuah negara Indonesia sudah memiliki segalanya. undang-undang dan kelengkapan hukum lainnya sudah lama tersedia. Kekayaan alam sebagai modal membangun kekayaan dan kesejahteraan nyaris tidak ada duanya di dunia. Letak geografisnya sangat stragis yang ditopang oleh iklim yang kondusif untuk produktifitas ditambah dengan jumlah penduduknya yang besar. Namun semua itu belum membuat bangsa ini bangkit menjadi bangsa besar yang akan menjadi pusat peradaban dunia. Mengapa? Karena ternyata ada satu yang kurang, yakni Pemimpin Kuat yang berkarakter. Itulah kesimpulan dari Roundtable Discussion PPAD (Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat) dengan Gerakan Beli Indonesia Sealasa siang di Bandung, Jawa Barat. Selain para purnawiraan TNI angkatan darat dan pengusaha yang tergabung dalam Gerakan Beli Indonesia, forum juga dihadiri juga oleh sejumlah tokoh dari berbagai kalangan seperti Prof. DR. Syafii Maarif, Hajrianto Thohari (Golkar/ Wk. Ketua MPR), DR. Andreas Pareira (PDIP), dr. Zainal Abidin (IDI), Ahmad Dolly Kurnia (KNPI), Parlindungan (PMKRI), August Parengkuan (mantan Pemred HU Kompas) dan lain-lain.

Kiki Syahnakri, pengurus PPAD pusat mengatakan saat ini tim PPAD sedang merumuskan semacam blue print tentang konsep menjalankan negara. "Rumusan itu akan kami berikan kepada pemimpin yang segaris yang kami anggap dapat memimpin negeri ini," katanya. Hanya saja sampai sekarang menurut Kiki pihaknya belum menemukan sosok calon pemimpin yang dimaksud. Diskusi yang berlangsung di gedung Indonesia Menggugat itu dibuka dengan Monolog "Indonesia Menggugat" oleh seniman Bandung Wawan Shofwan yakni pledoi Soekarno di depan hakim ketika dia dituduh sebagai pemberontak oleh pemerintah kolonial Belanda. Letjend TNI Soeryadi, ketua umum PPAD Pusat memberikan sambutan yang dilanjutkan dengan pemaparan Gerakan Beli Indonesia oleh Ir. H. Heppy Trenggono, Mkom. 

Prof. Syafii Maarif sebagai orang pertama untuk menyampaikan pandangan menyatakan kekhawatirannya tentang dominasi asing di Indonesia. Banyak sektor-sektor strategis yang sudah dikuasai dan dikendalikan asing, "Saya khawatir Indonesia akan menjadi budak di negeri sendiri," katanya. Maka menurutnya thema Konsolidasi Keindonesiaan, membebaskan bangsa dari perbudakan adalah sebuah topik yang tajam dengan melihat kondisi Indonesia saat ini. Beli Indonesia, di mata mantan Ketua Umum PP Muhammadyah ini adalah sebuah gerakan yang tepat untuk konsolidasi karena Indonesia dalam posisi yang sangat berbahaya dengan maraknya konflik social di tingkat grass root maupun di tingkat elit. Menurut Buya, sebuah gerakan harus otentik dan perlu orang-orang yang berani untuk menggerakkannya. "Mudah-mudahan kita bisa mempercepat jalannya sejarah," katanya penuh harap. 

Sementara politisi Golkar yang juga Wakil Ketua MPR, Hajrianto Thahari mempertanyakan tentang paradok di negeri ini. Ketika infra struktur dan UU anti korupsi semakin lengkap tetapi korupsi justru semakin marak. Pemilu makin demokratis tetapi banyak yang menyangsikan hasil pemilu itu sendiri. Hajrianto mengatakan banyaknya pihak-pihak yang mengambil keuntungan secara pribadi dan kelompok di tengah liberaliasi ekonomi dan politik. Pada saat yang sama banyak pula yang kecewa dengan penyelenggaraan negara seperti ini. "Perlu ada pribumisasi demokrasi agar semua yang berjalan cocok dan sesuai dengan akar budaya bangsa kita," katanya. Untuk itu semua perlu ada sosok yang dapat menjalankannya yang tidak sekedar menjabat tetapi juga memimpin.

Ahmad Dolly Kurnia dari KNPI menyorot tentang kepemimpinan saat ini. Menurutnya sebagian besar elit negeri ini hari ini lebih terampil untuk berkuasa daripada memimpin. Untuk kepentingan kekuasaan itu para elit akan melakukan cara apapun untuk berkuasa. Orientasi pada kekuasaan juga dapat dilihat pada kegagalan elit negeri ini untuk proses regenerasi kepemimpinan. "Saat kita sulit menemukan sosok muda yang memiliki kecakapan leadership sebagai akibat dari proses yang dijalankan oleh generasi sebelum ini," ungkap Dolly. Padahal untuk kondisi saat ini sosok itu sangat dibutuhkan karena masalah yang melilit negeri ini demikian luar biasa. 

Dalam pandangan akhirnya menanggapi dinamika forum itu, Pemimpin Gerakan Beli Indonesia, Heppy Trenggono mengatakan bahwa banyak hal yang bisa terjadi di China, Jepang, Singapura dan lain-lain namun tidak bisa berjalan di Indonesia. Jika harus belajar dari negara lain membangun negara, menurutnya Indonesia bisa belajar dari negara-negara yang telah lebih dulu bangkit membangun negaranya. "Strategi sukses apapun yang ternyata sukses di tangan orang lain tetapi tidak berjalan di Indonesia karena ada satu hal yang tidak dimiliki oleh bangsa ini, yakni karakter, karakter dan karakter," katanya. Sayangnya menurut Heppy, hari ini bangsa Indonesia terseret kepada logika pembangunan merek daripada pembangunan karakter. Dengan kekayaan alam yang melimpah dan infrastruktur hukum dan social yang lengkap namun semua strategi tidak berjalan. Menurutnya, sebagaimana bangsa besar lainnya yang berubah oleh karena satu orang maka Indonesia juga bisa berubah oleh satu orang. Orang itu adalah pemimpin kuat yang berkarakter. (AA) 

Sabtu, 29 Oktober 2011

Agama Saya Yang Mengajarkan Saya Untuk Nasionalis



Sanur Bali, 29/10/2011. "Pak, mengapa anda begitu sangat nasionalis, tetapi di sisi lain anda juga seorang yang religius dengan banyak mengutip ayat atau hadist dalam presentasi anda," tanya peserta di forum Koperasi Muda Indonesia, Sabtu siang, di sebuah hotel di kawasan Sanur, Bali. Pertanyaan itu ditujukan kepada Aswandi As'an, dari Tim Beli Indonesia pada sesi tanya jawab setelah Aswandi memaparkan tentang gerakan Beli Indonesia. Dalam presentasinya selama 1,5 jam Aswandi menyebutkan Beli Indonesia sebagai medan juang untuk seorang yang mencintai bangsa dan negaranya. Karena didalamnya terkandung semangat pembelaan terhadap kemajuan ekonomi negara dan kejayaan bangsa Indonesia

"Agama saya yang mengajarkan saya untuk menjadi seorang nasionalis," jawab Aswandi. Aswandi menambahkan bahwa seorang muslim diperintahkan oleh agamanya untuk membela bangsa dan negaranya. Mencintai negara itu, kata Aswandi adalah bagian dari keimananan. Dan secara historis, Indonesia berdiri tidak lepas dari peran ulama yang bergerilya memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang arti kemerdekaan dan upaya membebaskan diri dari cengkeraman asing. "Bagi seorang muslim tidak ada pemahaman split antara agama dan bangsa, seolah-olah jika dia religius maka dia dia tidak nasionalis, dan kalau dia nasionalis maka akan longgar bahkan lepas dari ajaran agamanya," jelas Aswandi. Aswandi menegaskan bahwa mencintai atau membela bangsa dan negara itu adalah bagian dari ajaran agamanya. 

Dalam presentasinya di depan pengurus Komindo se Indonesia itu, Aswandi memaparkan kondisi pasar Indonesia yang sudah dikuasai asing. "Kita tidak usah bicara tambang atau sektor strategis lainnya, tapi lihat apa yang kita pakai sehari-hari-hari. Hampir semuanya produk asing," jelas Aswandi. Maka bagaimana Indonesia akan menjadi negara yang kuat dan mandiri secara ekonomi jika produk-produk yang dipakai oleh rakyatnya adalah produk-produk yang dimiliki oleh orang asing. "Produsen asing tidak ada urusannya dengan Indonesia, lihat bagaimana cara mereka memilih supplier, merekrut karyawan, menyimpan uangnya pasti bukan di bank-bank Indonesia dan lain-lain. Hanya satu yang menjadi konsen mereka, yakni bagaimana mereka mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan dari Indonesia," ungkap Aswandi. Mengapa mereka bisa besar? Karena kita bela, kita beli dan kita pakai produknya. Sebaliknya, mengapa produk Indonesia tidak tumbuh? Karena orang Indonesia enggan memakai produk bangsanya sendiri. Akibatnya Industri dalam negeri tidak tumbuh. Industri tidak tumbuh maka lapangan kerja sempit. Lapangan kerja sempit mengakibatkan pengangguran ada di mana-mana. Maka kemudian berbondong-bondonglah anak negeri ini mencari hidup di negeri orang menjadi TKI atau TKW. "Siapa sesungguhnya yang mengirim anak-anak negeri ini menjadi TKI? Ya kita semua karena kita enggan membela produk yang dibuat oleh anak bangsa kita sendiri," ungkap Aswandi. 

Komindo adalah sebuah komunitas yang beranggotakan para sarjana yang baru lulus kuliah. Dulunya mereka adalah aktifis dan anggota komunitas kampus. Setelah lulus mereka membuat organisasi yang mereka sebut Komindo atau Koperasi Muda Indonesia, dimana organisasi ini menjadi penyangga kegiatan ekonomi masing-masing. Rata-rata anggotanya sudah merintis usaha atau memulai bisnis di daerah masing-masing. Beberapa waktu sebelumnya pengurus pusat Komindo mendatangi Pemimpin Gerakan Beli Indonesia, Ir.H.Hepyy Trenggono, M.Kom, untuk berdiskusi tentang mengembangkan organisasi ini. Mereka meminta agar Beli Indonesia dapat mensupport kegiatannya dengan cara menjadi pembicara atau menyampaikan Beli Indonesia dalam forum mereka. Acara yang berlangsung di kawasan Sanur, Bali Sabtu siang itu adalah workshop tentang entrepreneurship untuk para pengurus Komindo dari seluruh Indonesia.
(AA)

Kamis, 25 Agustus 2011

Baju baru VOC jajah Indonesia


Penjajahan ekonomi itu benar adanya. Bangsa ini menjadi sapi perah Negara lain. Jumlah penduduk yang cukup besar menjadi ladang strategis asing untuk mengobok-obok negeri ini yang kaya dengan alamnya. Membludaknya produk asing yang membanjiri pasar-pasar di negeri ini telah mematahkan semangat sebagian pengusaha mikro bangsa ini. Ketika bangsa ini masih belum siap menghadapi pasar bebas, produk asing terus menawarkan produknya dengan harga murah. Tak hanya itu, negeri ini sumber daya alamnya telah terkuras oleh kepentingan asing. Yang ironisnya lagi, mereka mengeksplorasi alam kita, lalu kemudian mejual kembali bangsa ini dengan harga yang lebih tinggi.
Menyikapi kenyataan yang memilukan ini, BJ Habibie mantan presiden ketiga memberikan pidato yang cukup menohok terkait penjajahan versi baru terhadap bangsa Indonesia. “ Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu Negara ke Negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke Negara asal sedemikian rupa sehingga rakyat harus “membeli jam kerja” bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo –colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu VOC (verenigte oostindische Companie) dengan baju baru, “ begitulah bagian isi pidato Habibie tentang reaktualisasi nilai Pancasila.
Ya, VOC dengan baju baru telah membelenggu masyarakat sehingga menjadi masyarakat yang konsumtif. Cengkraman asing yang memainkan harga telah mencabik-cabik nasib pengusaha kecil di Indonesia. Hal ini berdampak pada matinya usaha kecil karena tidak mampu bersaing dengan produk asing. Sementara Heppy Trenggono Presiden Indonesian Islamic Business Forum (IIBF) menerangkan, dulu Indonesia dijajah negeri asing, hari ini kehidupan kita juga dikuasai oleh produk negeri asing. “ Hampir semua kebutuhan hidup kita dibuat oleh orang asing. Misalnya 92 persen produk teknologi yang kita pakai buatan asing. Sebesar  80 persen pasar farmasi dikuasai asing, 80 persen pasar tekstil juga dikuasai asing,” ujarnya. Heppy juga berpendapat bahwa besarnya jumlah penduduk merupakan pasar besar yang sangat menggiurkan. Tetapi juga sangat menakutkan bila Negara ini bangkit menjadi Negara produsen.
Ia juga menyatakan bahwa Indonesia kini tercatat sebagai Negara paling konsumtif nomor dua, berdasarkan data Dart Nielsen. Ini salah satu factor pendukung Indonesia menjadi surga bagi produk luar dengan menggeser produk lokal dan membunuh pabrik-pabrik. “ Pada 2005 ada 429 pabrik yang kolap, tiga tahun kemudian  200 diantaranya gulung tikar. Pada 2010 Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan Cina sebesar Rp. 53 Triliun” ujarnya.
Heppy mencontohkan keberadaan perusahaan asing di Indonesia yang telah meraup triliunan rupiah. “Sebuah perusahaan yang menguasai pasar air dalam kemasan meraup penjualan sekitar Rp. 10 Triliun per tahun. Sebuah perusahaan minuman ringan mengusai 40 pasar minuman. Produsen sampo, pasta gigi, sabun dan sejenisnya meraup Rp. 20 triliun per tahun, “ jelasnya. Lebih lanjut , Heppy mengatakan di negeri ini ada satu produsen susu formula mengendalikan 80 persen petani di Indonesia. Menguasai 50 persen dari berbagai merek susu dan meraih penjualan Rp. 200 triliun per tahun. Sementara produk-produk lokal sangat sulit masuk ke pasar supermarket dengan potongan harga yang sangat tinggi.

Sepi Pengusaha, Ramai Konsumen
Indonesia dengan pulaunya yang bertebar dan jumlah penduduk yang membludak, menjadi ladang empuk para pengusaha menanamkan investasi di Tanah Air ini. Tapi sayangnya, bangsa ini masih menjadi bangsa yang pandai membeli daripada memproduksi , bangsa terkonsumtif di banding Negara-negara berkembang lainnya. Ironisnya, jumlah pengusahanya hanya 0.18 persen saja. Bayangkan jika negeri ini bangun dari keterpurukan. Apa kata dunia ? Pastinya akan menjadi Negara besar yang memiliki kekuatan besar. Karena sumber daya alam yang dimiliki bangsa ini sangat kaya. Tapi lagi-lagi, semua itu masih jauh dari kenyataan yang diharapkan oleh stakeholder pendiri bangsa ini.
Kini, Negara ini sedang bermimpi, nina bobok dari pemain asing terus melenakan tidur macan asia ini. Dulu negeri ini pernah menjadi negeri surplus beras, kita banyak mengekspor hasil kekayaan bumi ini, bahkan hampir pernah menjadi produsen pesawat besar. Sekarang negeri ini pandai mengimpor barang yang sebenarnya kita bisa memproduksinya sendiri. Ada yang tidak beres dengan sistem bangsa ini. Negeri kaya, namun miskin rakyatnya. Menurut Ketua Departemen Pemberdayaan Daerah Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Priamanaya Djan dalam konferensi pers Indonesia Young Leaders Forum 2011, saat ini jumlah usahawan masih sekitar 0.18 % atau 430 ribu orang dari jumlah penduduk Indonesia sekitar 240 juta.
Jumlah pengusaha Indonesia tersebut masih sangat rendah dibandingkan dengan Negara tetangga. Sebagai contoh, singapura saat ini memiliki sekitar 8% jumlah pengusaha dari jumlah penduduknya 4,5 juta orang. Sementara itu pengusaha wanita di Indonesia masih 0,1 persen dari total penduduk. Demikian kata Menteri Pemberdayaan Perempuan, Linda Agum Gumelar. “ Pelaku usaha atau yang bergerak sebagai entrepreneur di Indonesia di bawah dua persen total penduduk,sedangkan pelaku usaha wanita masih dibawah 0,1 persen,” kata Linda. Sebagian besar pelaku usaha wanita Indonesia bergerak di tingkatan usaha mikro kecil menengah (UMKM), sebagian kecil bergerak di level menengah ke atas. “Meski jumlahnya masih kecil, namun UMKM perempuan justru lebih tangguh dan terbukti mampu bertahan saat dihantam badai krisis 1998 maupun 2009 lalu,” kata Linda.

Memburu PNS daripada Jadi Wirausaha
Minimnya jumlah pengusaha di negeri ini, salah satunya dipicu mentalitas bangsa ini yang masih suka dengan pegawai negeri sipil (PNS). Menurut Ketua Umum Hipmi Erwin Aksa, di daerah , jumlah PNS rasionya terlalu besar hingga PNS justru menjadi penghambat investasi yang selam ini digembor-gemborkan pemerintah.
Di acara Indonesia Young Leaders Forum 2011 Erwin mengatakan, “ terlalu banyak PNS yang ganggu birokrasi. Hambatan (investasi) terberat dalam birokrasi,” jelasnya. Erwin menambahkan, tujuan pemerintah selalu melakukan perekrutan PNS setiap tahunnya hanya ingin menutupi indeks pengangguran tinggi alias mengurangi pengangguran namun ini justru menjadi boomerang. Menurut Erwin jumlah PNS berlimpah dan tidak diimbangi dengan kompetensi memadai, ini justru ,emjadikan birokrasi tidak efisien. Hingga kini total PNS hamper mencapai 4,7 juta orang. “efisiensi birokrasi di daerah muncul. Hingga adanya biaya operasional yang tidak untuk investasi. PNS sampai saat ini masih bersifat feodal,” paparnya.

Jumat, 11 Maret 2011

Tentang Beli Indonesia

Setelah 65 tahun merdeka, Indonesia belum mampu meraih kejayaan ekonomi. Sumber daya alam yang sangat melimpah belum mampu menolong bangsa kita keluar dari kerterpurukan. Ketika bangsa-bangsa lain di dunia berpacu dalam prestasi, berbicara tentang pasar yang lebih luas, berlomba dalam teknologi, bangsa kita masih sibuk dengan persoalan-persoalan fundamental. 

Bangsa Indonesia masih berjuang untuk merdeka dari belenggu kemiskinan, mengatasi hutang luar negeri yang semakin hari semakin melumpuhkan, keluar dari tatanan kehidupan yang tidak lagi percaya kepada kebaikan. Korupsi yang membuat frustasi anak bangsa, sumber daya alam yang terus menguap setiap hari, bahkan jumlah penduduk 237 juta jiwa pada hari ini tidak menjadi kekuatan untuk membangun ekonomi bangsa sendiri namun justru telah menjadi strategi bangsa lain dalam membangun ekonomi mereka. 

Mengapa begitu banyak bangsa-bangsa di dunia yang berhasil meraih kejayaannya sementara Indonesia masih terus terpuruk? Mengapa Indonesia bahkan tidak mampu bersiang dengan negeri tetangga yang jauh lebih kecil dari Indonesia? Sebagai bangsa terbesar ke- 4 dunia, Indonesia hari ini hidup dalam serba keterbatasan, kemiskinan yang tidak hanya menimpa kehidupan masyarakat kalangan bawah namun juga merangsek ke seluruh lapisan dan institusi penyelenggara negara, termasuk institusi pendidikan, bahkan pertahanan negara diwarnai kesempitan anggaran yang sangat serius. Di negeri kita pengangguran meluas ke berbagai lapisan bahkan menimpa mereka yang berpendidikan tinggi. Banyak anak-anak bangsa yang terpaksa mencari pekerjaan ke luar karena sulitanya mencari penghidupan di negeri sendiri. Di sisi lain perlindungan terhadap anak bangsa tidak bisa diharapkan oleh anak bangsa yang membutuhkannya, jaminan sosial untuk warga miskin dan manula tidak mampu diberikan oleh negara, pembangunan ekonomi jalan di tempat, bangsa ini setiap hari disibukkan oleh peristiwa-peristiwa korupsi yang memilukan, sementara hukum hanya bisa diterapkan secara efektif jika menimpa kalangan masyarakat bawah. Keburukan perilaku meluas dan menghiasi keseharian bangsa kita. 

Hari ini kita menghadapi kenyataan bahwa 80% pasar tekstil telah dikuasai asing, 80% pasar farmasi juga sudah asing, 92% industri teknologi yang hampir seluruhnya dikuasai oleh asing telah menunjukkan bahwa kita tidak berbuat sesuatu yang semestinya di negeri kita sendiri. Lihatlah produk yang kita gunakan sehar-hari yang ada di kamar mandi, di dapur, di ruang tamu, di jalan-jalan bahkan mainan anak-anak kita, buah-buahan, makanan pokok tanpa kita sadari ternyata semuanya telah didomonasi oleh produk-produk asing. 

Anak-anak bangsa sendiri semakin sulit berusaha di negeri sendiri, menjual menjadi sesuatu yang sulit dilakukan oleh bangsa sendiri di negeri sendiri karena kuatnya dominasi pemain asing, para pengusaha berguguran setiap hari. Tak cukup sampai di situ, diterapkannya pasar bebas untuk produk China (ACFTA), Jepang, Australia dan negara lain dimana Indonesia membebaskan bea masuk produk asing ke Indonesia di tengah lemahnya sektor swasta milik bangsa Indonesia telah membuat industri hingga home industri di negeri kita berguguran semakin cepat. 

Produk bangsa kita bukan tuan rumah di negeri sendiri, produk asing yang telah menjadi tuan rumah di negeri kita. Jika sebelum tahun 1945 kita tidak menguasai tanah air kita, hari ini ternyata kita tidak menguasai kehidupan kita. Bangsa Indonesia harus segera berubah dan berbuat sesuatu, meraih kejayaan ekonomi dan membangkitkan kembali karakter unggul bangsa kita. Kejayaan ekonomi Indonesia ada di tangan kita sendiri, kita harus mengambil pasar di negeri kita untuk dijadikan sebagai kekuatan bangsa kita membangun kejayaan ekonomi! Jika sebelumnya kita tidak terlalu peduli produk apa yang harus dibeli, hari ini kita harus peduli bahwa hanya produk bangsa Indonesia yang akan mengantarkan Indonesia meraih kejayaan ekonomi. Produk asing artinya adalah ekonomi asing, bukan ekonomi Indonesia. Bangsa asing memiliki nasionalisme sendiri, ekonomi mereka sendiri dan Indonesia bukan nasionalisme mereka. "Nasib bangsa Indonesia tidak akan kemana-mana jika bangsa kita tidak melakukan pembelaan terhadap produk-produk bangsanya sendiri," demikian yang dikatakan oleh Ir.H. Heppy Trenggono Mkomp, Presiden Indonesian Islamic Business Forum (IIBF) di depan 513 pengusaha dari 42 kota di Indonesia tanggal 27 Februari 2011.

Melakukan pembelaan adalah membangkitkan karakter unggul bangsa Indonesia, karakter yang lahir dari kesadaran jati diri kita sebagai bangsa Indonesia, bangsa yang yakin kepada Allah SWT, yakin bahwa masa depan ada di tangan kita sendiri, yakin bahwa kejayaan akan kita raih sebagaimana telah diraih oleh bangsa-bangsa besar lainnya di dunia. Bangsa Indonesia menemukan kembali karakter unggulnya apabila tumbuh kesadaran tentang jati dirinya, memiliki keyakinan sebagai bangsa besar, dan jelas apa yang dibela. 

Tahun ini, tepat 100 tahun lahirnya SDI (Syarikat Dagang Islam) di Solo tahun 1911 yang dipelopori oleh H. Samanhudi sebagai tonggak kebangkitan ekonomi bangsa. Kongres Kebangkitan Ekonomi Indonesia (KKEI) lahir sebagai bentuk kesadaran bangsa Indonesia untuk berubah. Gerakan yang dipelopori oleh pengusaha dan ulama ini terus mendapat dukungan dari berbagai komponen bangsa, termasuk para walikota, mahasiswa, dan elemen masyarakat dari berbagai komunitas, lintas agama dan lintas organisasi. 

KKEI adalah sebuah penyatuan visi membangun kejayaan ekonomi Indonesia, melalui sebuah gerakan yang disebut "Beli Indonesia". Gerakan Beli Indonesia membangkitkan 3 sikap perjuangan bangsa yaitu Membeli produk Indonesia, Membela Bangsa Indonesia dan Menghidupkan Semangat Persaudaraan. 

Kongres ini bertujuan mengajak para pemimpiin, ulama, tokoh masyarakat dan para pengusaha Indonesia untuk membangun kebersamaan visi dan langkah perjuangan membangun karakter dan kemandirian ekonomi Indonesia menuju kejayaan bangsa. (Tim)