Rabu, 08 Februari 2012

Asing Tongkrongi UU Indonesia

Surabaya, 08/02/2012. Roundtable Discussion Gerakan Beli Indonesia dan PPAD Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat) di Surabaya, Rabu siang mengungkap banyak fakta tentang keterjajahan Indonesia oleh bangsa asing hari ini. Bukan penjajahan fisik semata yang telah terjadi atau pasar yang telah dikuasai tetapi adalah jantung dari negeri ini yakni Undang-Undang yang mengatur kehidupan fundamental bangsa Indonesia. "Undang-undang dasar kita hanya tinggal 5 persen saja yang masih murni selebihnya sudah diobrak-abrik dalam bentuk amandemen," kata Prof. Edi Swasono, salah satu peserta diskusi. Sambil menunjukkan UUD 1945 yang asli dan UUD 2002 yang telah diamandemen, Edi mengatakan negara ini diambang kehancuran karena landasan konstitusional sudah sarat dengan intervensi pihak luar. UUD 1945 yang dihasilkan dari kejernihan berfikir bapak-bapak bangsa negeri ini dirubah begitu saja oleh anak-anak negeri yang sudah terjajah hidup dan fikirannya.

Bambang Budiono, seorang dosen Fisip Unair meminta kepada peserta lain untuk menelisik kembali Undang-Undang Otonomi Daerah yang telah membuat Indonesia menjadi fragmen kedaerahan yang menyebabkan seorang presiden hilang kekuasaan dan wewenangnya. "Saya memiliki fakta tentang adanya dua orang warga negara Jerman dan Belanda yang menawarkan konsep otonomi daerah kepada Indonesia ketika itu. Hari ini kita harus bertanya kepada mereka yang merumuskan konsep otonomi itu, darimana asal konsep itu?" katanya dengan nada tanya. Budiono mengungkapkan asing menguasai negara ini melalui berbagai cara, bahkan seorang intelektual kampuspun dapat menjadi antek asing setelah di sekolahkan ke luar negeri. Makanya opini, jurnal ilmiah yang dibuatnya sarat dengan muatan kepentingan asing yang menjadi sponsor di belakangnya. "Harusnya dia belajar ke negara itu untuk membangun bangsa sendiri, ini malah pulang menjadi agen negara lain dan menghianati negara sendiri. Inilah kerjaan para intelektual naif itu," ungkapnya.

Corong yang paling nyaring yang berteriak untuk asing itu, menurut Budiono adalah LSM yang mendapat dana dari negara sponsor. "Saya mendengar cerita bagaimana seorang asing penyandang dana mengumpulkan beberapa LSM dan memarahi mereka karena beberapa pasal tidak gol dalam pembahasan di DPR," ungkapnya. Maka, lanjut Budiono, tidak heran jika ada 72 UU yang dibuat di DPR diintervensi oleh pihak asing. Dalam keadaan carut marut ini, menurut Budiono, yang dapat meluruskan dan membawa bangsa ini bukanlah sistem demokrasi seperti yang ada selama ini tetapi seorang pemimpin kuat yang berkarakter.

KH. Sholahuddin Wahid, atau Gus Sholah melihat ada sebuah proses pendidikan yang gagal di negeri ini. Pendidikan karakter yang sering disebut-sebut oleh pejabat itu hanya indah di dalam konsep dan ucapan tetapi tidak di lapangan. Pendidikan sendiri dalam pandangan Gus Sholah sudah terjadi pembiaran dan pengabaian oleh negara, sehingga banyak warga negara tidak mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana yang diatur undang-undang. Tanpa menyebutkan bagaimana memperbaiki keadaan itu Gus Sholah mengatakan dirinya tetap memilih pulang ke Jombang untuk mengurusi pesanteren yang diwariskan oleh orang tuanya. Karena di lembaga pendidikan ini, apa-apa yang tidak ada di lembaga pendidikan lain, pesanteren mengajarkannya melalui cara hidup sehari-hari.

Sejumlah tokoh yang hadir dalam diskusi itu sebagian besar adalah tokoh Jawa Timur dengan beragam latar belakang, ulama, pengusaha, pensiunan, aktifis dan TNI yang sudah purnawira, termasuk ketua umumnya Letjend TNI Pur, Soeryadi. Salah satu tokoh TNI yang hadir adalah Jend.TNI purn. Wijoyo Suyono berusia 84 tahun yang juga mantan tentara pelajar Jawa Timur. Dalam kesempatan itu memberi wejangan agar kaum muda berbuat sesuatu untuk negeri ini. "Kami yang sudah sepuh ini hanya berharap dan berdoa agar bangsa dan negara kita selamat seperti dalam cita-cita kemerdekaan dulu. Dan semua itu ada di tangan para anak muda yang memiliki kecintaan dan kerelaan berkorban untuk bangsa dan negara," katanya dengan penuh harap. Dengan gaya dan pengungkapan masing-masing, semua tokoh yang hadir merisaukan tentang keadaan Indonesia saat ini, utamanya dominasi asing dan kehilangan kedaulatan Indonesia dari berbagai sisi.

Menanggapi tentang "curhat" para tokoh itu, pihak PPAD yang diwakili oleh Letjen.TNI purn. Kiki Syahnakri menegaskan perubahan di negeri ini harus dilakukan secara konstitusional agar tidak ada distorsi sejarah terhadap perjalanan bangsa. Karena itu, lanjut Kiki pihak-pihak yang ingin revolusi untuk menahan diri karena sangat mahal ongkos yang harus dibayar disamping memang syarat yang belum bisa terpenuhi untuk itu. "Revolusi itu bisa terjadi jika memenuhi 3 syarat , pimpinan yang kuat, dukungan yang bulat dan tujuan yang jelas," ungkap Kiki. Sementara itu Pemimpin Gerakan Beli Indonesia, Ir. H.Heppy Trenggono, Mkom menanggapi dinamika forum diskusi dengan sebuah ucapan terima kasih kepada para sesepuh yang telah bercerita banyak tentang sejarah dan perjalanan bangsa ini. "Bagaimana jika kisah dan sejarah seperti ini tidak ada lagi yang menceritakannya, maka generasi setelah ini tidak ada yang tahu dengan sejarah bangsanya sendiri. Karena hari perjalanan bangsa ini sudah sangat semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan," kata Heppy. Tentang keadaan kesejahteraan di Indonesia, Heppy menilai bahwa Indonesia memang hidup jauh di bawah kemampuannya. Menurutnya, seharusnya Indonesia tidak hidup dengan biaya Rp. 1.200 Triliyun per tahun. Angka itu sangat tidak layak untuk negara sebesar ini. "Itu disebabkan karena kita hidup dengan cara bangsa miskin," tegas Heppy. Banyak perilaku elit dan rakyat yang hidup dengan cara miskin, seperti korupsi membuang waktu sia-sia termasuk membiarkan kekayaan negara ini menguap tanpa menjadi apa-apa untuk negeri sendiri.

Diskusi yang berlangsung setengah hari di aula Fisip Unair itu dipandu oleh Aswandi As'an dari Beli Indonesia. Acara serupa akan juga diadakan di Jogjakarta dan beberapa kota besar lain, setelah sebelumnya diadakan di Bandung, Jawa Barat. (AA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar