Penjajahan ekonomi itu benar adanya. Bangsa ini menjadi sapi perah
Negara lain. Jumlah penduduk yang cukup besar menjadi ladang strategis asing
untuk mengobok-obok negeri ini yang kaya dengan alamnya. Membludaknya produk
asing yang membanjiri pasar-pasar di negeri ini telah mematahkan semangat
sebagian pengusaha mikro bangsa ini. Ketika bangsa ini masih belum siap
menghadapi pasar bebas, produk asing terus menawarkan produknya dengan harga
murah. Tak hanya itu, negeri ini sumber daya alamnya telah terkuras oleh
kepentingan asing. Yang ironisnya lagi, mereka mengeksplorasi alam kita, lalu
kemudian mejual kembali bangsa ini dengan harga yang lebih tinggi.
Menyikapi kenyataan yang memilukan ini, BJ
Habibie mantan presiden ketiga memberikan pidato yang cukup menohok terkait
penjajahan versi baru terhadap bangsa Indonesia . “ Salah satu manifestasi
globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam
suatu Negara ke Negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang
tinggi, kemudian menjual produk-produk ke Negara asal sedemikian rupa sehingga
rakyat harus “membeli jam kerja” bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam
bentuk baru, neo –colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu VOC
(verenigte oostindische Companie) dengan baju baru, “ begitulah bagian isi
pidato Habibie tentang reaktualisasi nilai Pancasila.
Ya, VOC dengan baju baru telah membelenggu
masyarakat sehingga menjadi masyarakat yang konsumtif. Cengkraman asing yang
memainkan harga telah mencabik-cabik nasib pengusaha kecil di Indonesia . Hal ini berdampak pada matinya usaha kecil
karena tidak mampu bersaing dengan produk asing. Sementara Heppy Trenggono
Presiden Indonesian Islamic Business Forum (IIBF) menerangkan, dulu Indonesia
dijajah negeri asing, hari ini kehidupan kita juga dikuasai oleh produk negeri
asing. “ Hampir semua kebutuhan hidup kita dibuat oleh orang asing. Misalnya 92
persen produk teknologi yang kita pakai buatan asing. Sebesar 80 persen
pasar farmasi dikuasai asing, 80 persen pasar tekstil juga dikuasai asing,”
ujarnya. Heppy juga berpendapat bahwa besarnya jumlah penduduk merupakan pasar
besar yang sangat menggiurkan. Tetapi juga sangat menakutkan bila Negara ini
bangkit menjadi Negara produsen.
Ia juga menyatakan bahwa Indonesia kini tercatat sebagai Negara paling
konsumtif nomor dua, berdasarkan data Dart Nielsen. Ini salah satu factor
pendukung Indonesia menjadi surga bagi produk luar dengan menggeser produk
lokal dan membunuh pabrik-pabrik. “ Pada 2005 ada 429 pabrik yang kolap, tiga
tahun kemudian 200 diantaranya gulung tikar. Pada 2010 Indonesia
mengalami defisit perdagangan dengan Cina sebesar Rp. 53 Triliun” ujarnya.
Heppy mencontohkan keberadaan perusahaan asing di Indonesia yang telah
meraup triliunan rupiah. “Sebuah perusahaan yang menguasai pasar air dalam kemasan
meraup penjualan sekitar Rp. 10 Triliun per tahun. Sebuah perusahaan minuman
ringan mengusai 40 pasar minuman. Produsen sampo, pasta gigi, sabun dan
sejenisnya meraup Rp. 20 triliun per tahun, “ jelasnya. Lebih lanjut , Heppy
mengatakan di negeri ini ada satu produsen susu formula mengendalikan 80 persen
petani di Indonesia. Menguasai
50 persen dari berbagai merek susu dan meraih penjualan Rp. 200 triliun per
tahun. Sementara
produk-produk lokal sangat sulit masuk ke pasar supermarket dengan potongan harga
yang sangat tinggi.
Sepi Pengusaha, Ramai Konsumen
Indonesia dengan pulaunya yang bertebar dan jumlah penduduk yang membludak,
menjadi ladang empuk para pengusaha menanamkan investasi di Tanah Air ini. Tapi
sayangnya, bangsa ini masih menjadi bangsa yang pandai membeli daripada
memproduksi , bangsa terkonsumtif di banding Negara-negara berkembang lainnya. Ironisnya,
jumlah pengusahanya hanya 0.18 persen saja. Bayangkan jika negeri ini bangun
dari keterpurukan. Apa kata dunia ? Pastinya akan menjadi Negara besar yang
memiliki kekuatan besar. Karena sumber daya alam yang dimiliki bangsa ini
sangat kaya. Tapi lagi-lagi, semua itu masih jauh dari kenyataan yang
diharapkan oleh stakeholder pendiri bangsa ini.
Kini, Negara ini sedang bermimpi, nina bobok dari pemain asing terus
melenakan tidur macan asia ini. Dulu negeri ini pernah menjadi negeri surplus
beras, kita banyak mengekspor hasil kekayaan bumi ini, bahkan hampir pernah
menjadi produsen pesawat besar. Sekarang negeri ini pandai mengimpor barang
yang sebenarnya kita bisa memproduksinya sendiri. Ada yang tidak beres dengan
sistem bangsa ini. Negeri kaya, namun miskin rakyatnya. Menurut Ketua
Departemen Pemberdayaan Daerah Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda
Indonesia (BPP HIPMI) Priamanaya Djan dalam konferensi pers Indonesia Young
Leaders Forum 2011, saat ini jumlah usahawan masih sekitar 0.18 % atau 430 ribu
orang dari jumlah penduduk Indonesia sekitar 240 juta.
Jumlah pengusaha Indonesia
tersebut masih sangat rendah dibandingkan dengan Negara tetangga. Sebagai
contoh, singapura saat ini memiliki sekitar 8% jumlah pengusaha dari jumlah
penduduknya 4,5 juta orang. Sementara
itu pengusaha wanita di Indonesia masih 0,1 persen dari total penduduk. Demikian
kata Menteri Pemberdayaan Perempuan, Linda Agum Gumelar. “ Pelaku usaha atau
yang bergerak sebagai entrepreneur di Indonesia di bawah dua persen total
penduduk,sedangkan pelaku usaha wanita masih dibawah 0,1 persen,” kata Linda. Sebagian
besar pelaku usaha wanita Indonesia bergerak di tingkatan usaha mikro kecil
menengah (UMKM), sebagian kecil bergerak di level menengah ke atas. “Meski
jumlahnya masih kecil, namun UMKM perempuan justru lebih tangguh dan terbukti
mampu bertahan saat dihantam badai krisis 1998 maupun 2009 lalu,” kata Linda.
Memburu PNS daripada Jadi Wirausaha
Minimnya jumlah pengusaha di negeri ini, salah satunya dipicu mentalitas
bangsa ini yang masih suka dengan pegawai negeri sipil (PNS). Menurut Ketua
Umum Hipmi Erwin Aksa, di daerah , jumlah PNS rasionya terlalu besar hingga PNS
justru menjadi penghambat investasi yang selam ini digembor-gemborkan
pemerintah.
Di acara Indonesia Young Leaders Forum 2011 Erwin mengatakan, “ terlalu
banyak PNS yang ganggu birokrasi. Hambatan (investasi) terberat dalam
birokrasi,” jelasnya. Erwin menambahkan, tujuan pemerintah selalu melakukan
perekrutan PNS setiap tahunnya hanya ingin menutupi indeks pengangguran tinggi
alias mengurangi pengangguran namun ini justru menjadi boomerang. Menurut Erwin
jumlah PNS berlimpah dan tidak diimbangi dengan kompetensi memadai, ini justru
,emjadikan birokrasi tidak efisien. Hingga kini total PNS hamper mencapai 4,7
juta orang. “efisiensi birokrasi di daerah muncul. Hingga adanya biaya
operasional yang tidak untuk investasi. PNS sampai saat ini masih bersifat feodal,”
paparnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar