Kamis, 25 Agustus 2011

Baju baru VOC jajah Indonesia


Penjajahan ekonomi itu benar adanya. Bangsa ini menjadi sapi perah Negara lain. Jumlah penduduk yang cukup besar menjadi ladang strategis asing untuk mengobok-obok negeri ini yang kaya dengan alamnya. Membludaknya produk asing yang membanjiri pasar-pasar di negeri ini telah mematahkan semangat sebagian pengusaha mikro bangsa ini. Ketika bangsa ini masih belum siap menghadapi pasar bebas, produk asing terus menawarkan produknya dengan harga murah. Tak hanya itu, negeri ini sumber daya alamnya telah terkuras oleh kepentingan asing. Yang ironisnya lagi, mereka mengeksplorasi alam kita, lalu kemudian mejual kembali bangsa ini dengan harga yang lebih tinggi.
Menyikapi kenyataan yang memilukan ini, BJ Habibie mantan presiden ketiga memberikan pidato yang cukup menohok terkait penjajahan versi baru terhadap bangsa Indonesia. “ Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu Negara ke Negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke Negara asal sedemikian rupa sehingga rakyat harus “membeli jam kerja” bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo –colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu VOC (verenigte oostindische Companie) dengan baju baru, “ begitulah bagian isi pidato Habibie tentang reaktualisasi nilai Pancasila.
Ya, VOC dengan baju baru telah membelenggu masyarakat sehingga menjadi masyarakat yang konsumtif. Cengkraman asing yang memainkan harga telah mencabik-cabik nasib pengusaha kecil di Indonesia. Hal ini berdampak pada matinya usaha kecil karena tidak mampu bersaing dengan produk asing. Sementara Heppy Trenggono Presiden Indonesian Islamic Business Forum (IIBF) menerangkan, dulu Indonesia dijajah negeri asing, hari ini kehidupan kita juga dikuasai oleh produk negeri asing. “ Hampir semua kebutuhan hidup kita dibuat oleh orang asing. Misalnya 92 persen produk teknologi yang kita pakai buatan asing. Sebesar  80 persen pasar farmasi dikuasai asing, 80 persen pasar tekstil juga dikuasai asing,” ujarnya. Heppy juga berpendapat bahwa besarnya jumlah penduduk merupakan pasar besar yang sangat menggiurkan. Tetapi juga sangat menakutkan bila Negara ini bangkit menjadi Negara produsen.
Ia juga menyatakan bahwa Indonesia kini tercatat sebagai Negara paling konsumtif nomor dua, berdasarkan data Dart Nielsen. Ini salah satu factor pendukung Indonesia menjadi surga bagi produk luar dengan menggeser produk lokal dan membunuh pabrik-pabrik. “ Pada 2005 ada 429 pabrik yang kolap, tiga tahun kemudian  200 diantaranya gulung tikar. Pada 2010 Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan Cina sebesar Rp. 53 Triliun” ujarnya.
Heppy mencontohkan keberadaan perusahaan asing di Indonesia yang telah meraup triliunan rupiah. “Sebuah perusahaan yang menguasai pasar air dalam kemasan meraup penjualan sekitar Rp. 10 Triliun per tahun. Sebuah perusahaan minuman ringan mengusai 40 pasar minuman. Produsen sampo, pasta gigi, sabun dan sejenisnya meraup Rp. 20 triliun per tahun, “ jelasnya. Lebih lanjut , Heppy mengatakan di negeri ini ada satu produsen susu formula mengendalikan 80 persen petani di Indonesia. Menguasai 50 persen dari berbagai merek susu dan meraih penjualan Rp. 200 triliun per tahun. Sementara produk-produk lokal sangat sulit masuk ke pasar supermarket dengan potongan harga yang sangat tinggi.

Sepi Pengusaha, Ramai Konsumen
Indonesia dengan pulaunya yang bertebar dan jumlah penduduk yang membludak, menjadi ladang empuk para pengusaha menanamkan investasi di Tanah Air ini. Tapi sayangnya, bangsa ini masih menjadi bangsa yang pandai membeli daripada memproduksi , bangsa terkonsumtif di banding Negara-negara berkembang lainnya. Ironisnya, jumlah pengusahanya hanya 0.18 persen saja. Bayangkan jika negeri ini bangun dari keterpurukan. Apa kata dunia ? Pastinya akan menjadi Negara besar yang memiliki kekuatan besar. Karena sumber daya alam yang dimiliki bangsa ini sangat kaya. Tapi lagi-lagi, semua itu masih jauh dari kenyataan yang diharapkan oleh stakeholder pendiri bangsa ini.
Kini, Negara ini sedang bermimpi, nina bobok dari pemain asing terus melenakan tidur macan asia ini. Dulu negeri ini pernah menjadi negeri surplus beras, kita banyak mengekspor hasil kekayaan bumi ini, bahkan hampir pernah menjadi produsen pesawat besar. Sekarang negeri ini pandai mengimpor barang yang sebenarnya kita bisa memproduksinya sendiri. Ada yang tidak beres dengan sistem bangsa ini. Negeri kaya, namun miskin rakyatnya. Menurut Ketua Departemen Pemberdayaan Daerah Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Priamanaya Djan dalam konferensi pers Indonesia Young Leaders Forum 2011, saat ini jumlah usahawan masih sekitar 0.18 % atau 430 ribu orang dari jumlah penduduk Indonesia sekitar 240 juta.
Jumlah pengusaha Indonesia tersebut masih sangat rendah dibandingkan dengan Negara tetangga. Sebagai contoh, singapura saat ini memiliki sekitar 8% jumlah pengusaha dari jumlah penduduknya 4,5 juta orang. Sementara itu pengusaha wanita di Indonesia masih 0,1 persen dari total penduduk. Demikian kata Menteri Pemberdayaan Perempuan, Linda Agum Gumelar. “ Pelaku usaha atau yang bergerak sebagai entrepreneur di Indonesia di bawah dua persen total penduduk,sedangkan pelaku usaha wanita masih dibawah 0,1 persen,” kata Linda. Sebagian besar pelaku usaha wanita Indonesia bergerak di tingkatan usaha mikro kecil menengah (UMKM), sebagian kecil bergerak di level menengah ke atas. “Meski jumlahnya masih kecil, namun UMKM perempuan justru lebih tangguh dan terbukti mampu bertahan saat dihantam badai krisis 1998 maupun 2009 lalu,” kata Linda.

Memburu PNS daripada Jadi Wirausaha
Minimnya jumlah pengusaha di negeri ini, salah satunya dipicu mentalitas bangsa ini yang masih suka dengan pegawai negeri sipil (PNS). Menurut Ketua Umum Hipmi Erwin Aksa, di daerah , jumlah PNS rasionya terlalu besar hingga PNS justru menjadi penghambat investasi yang selam ini digembor-gemborkan pemerintah.
Di acara Indonesia Young Leaders Forum 2011 Erwin mengatakan, “ terlalu banyak PNS yang ganggu birokrasi. Hambatan (investasi) terberat dalam birokrasi,” jelasnya. Erwin menambahkan, tujuan pemerintah selalu melakukan perekrutan PNS setiap tahunnya hanya ingin menutupi indeks pengangguran tinggi alias mengurangi pengangguran namun ini justru menjadi boomerang. Menurut Erwin jumlah PNS berlimpah dan tidak diimbangi dengan kompetensi memadai, ini justru ,emjadikan birokrasi tidak efisien. Hingga kini total PNS hamper mencapai 4,7 juta orang. “efisiensi birokrasi di daerah muncul. Hingga adanya biaya operasional yang tidak untuk investasi. PNS sampai saat ini masih bersifat feodal,” paparnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar