Jumat, 24 Februari 2012

Merebut Pasar Di Negeri Sendiri



Jakarta, 16/01/2012. Agresi militer Belanda pada Desember 1948, adalah cara Belanda menunjukkan ketidakrelaannya atas Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Karena hasil-hasil bumi Indonesia telah membuat Belanda telah meraih banyak keuntungan melalui satu perusahaannya bernama VOC yang menjadi perusahaan terkaya di dunia ketika itu. Hampir semua negara Eropa memiliki negara jajahan di Asia dan Afrika tempat mereka mencari bahan baku untuk kebutuhan industrinya. Tetapi tidak ada yang menyamai Belanda karena negara itu memiliki satu kawasan jajahan yang memiiki kekayaan yang tidak ada duanya di dunia, Indonesia.

Agresi itu seolah meniadakan dan membenam kembali keberadaan sebuah negara baru bernama Indonesia. Belanda memanfaatkan kelemahan posisi politis Indonesia di kancah Internasional dengan membangun opini bahwa Indonesia masih belum merdeka dan tetap dalam cengkeraman Belanda. Namun Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa berkehendak lain karena negara baru itu masih memiliki pejuang yang rela mengorbankan jiwa raga untuk bangsa dan negaranya. Pejuang itu diantaranya Panglima Besar Jenderal Sudirman, Sultan Hamengku Buwono IX, Gatot Soebroto, Bambang Sugeng, Letkol Soeharto, dr. Wliater Hutagalung, TB Simatupang dan lain-lain. Di bawah komando Jenderal Soedirman, para pejuang melakukan counter terhadap agresi Belanda itu. Salah satu strateginya dengan menduduki Yogyakarta sebagai ibukota RI ketika itu. Penyerangan dilakukan pada 1 Maret 1949 dan tentara Indonesia berhasil menduduki Yogyakarta selama 6 jam di bawah pimpinan Letkol Soeharto. Peristiwa penyerangan dan pendudukan itu yang kemudian dikenal sebagai Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Waktu 6 jam yang sangat bermakna dan sangat besar artinya buat perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia karena dengan itu dunia Internasional mengetahui bahwa Indonesia masih ada dan siap melawan dominasi asing. 

Sejarah selalu berulang dan penjajahan masih terjadi sampai saat ini. Apalagi terhadap negara yang kaya seperti Indonesia yang membuat semua negara kapitalis dan kolonialis bernafsu untuk menguasainya. Penjajahan secara fisik seperti yang sudah-sudah jelas tidak mungkin lagi karena sebagian besar negara di dunia mengutuknya. Maka caranya dengan menguasai sumber-sumber kekayaan alam negara ini melalui berbagai cara-cara yang "sopan dan manusiawi" dan seolah-olah menguntungkan buat Indonesia. Mereka menguasai dan mengail ikannya tanpa mengeruhkan airnya. Meski kadang-kadang cara mengeruhkan air sering juga dilakukan bahkan dengan merusakkan kolamnya sekalian seperti yang terjadi di Irak. Muncullah istilah investasi asing, privatisasi, pasar bebas, WTO, IMF, demokrasi, otonomi daerah, Hak Asasi Manusia, terorisme dan lain-lain istilah yang mereka ciptakan untuk didikte kepada negara target. Dan semua itu hari ini sudah terjadi di Indonesia. Tidak hanya ada satu VOC saja tetapi ribuan VOC yang menghisap kekayaan negara ini. Tidak hanya kekayaan alamnya yang dikuasai, pasar Indonesiapun dikuasai dengan berbuat semaunya dan memonopoli. De Yure Indonesia masih berdiri, De facto negara ini sudah kehilangan kedaulatan. Totally, kita sudah terjajah bahkan sampai ke perut dan cara berpikir. Sehingga anak-anak kita lebih bangga makan di McD daripada ayam goreng Ny.
Soeharti. Dan merasa hebat kalau ada kata-kata Amerika daripada dia menyebut Indonesia. 

Seperti yang telah diajarkan oleh Panglima Sudirman dan kawan-kawan, Beli Indonesia akan melakukan aksi serupa yang disebut dengan Serangan Umum Beli Indonesia 1 Maret 2012. "Ini adalah sebuah aksi edukasi kepada masyarakat kita apa yang harus dilakukan untuk membela negeri yang telah dikuasai asing saat ini," kata Ahmad Nur Sodik, Koordinasi Aksi. Menurut Sodik, aksi ini dilakukan dengan cara turun ke pasar-pasar atau sentra keramaian menemui pembeli dan penjual dan menjelaskan tentang pentingnya membela produk negeri sendiri.
Dilakukan serentak di 7 kota di Jawa dan Sumatera; Jakarta, Surabaya, Jogjakarta, Bandung, Pekanbaru, dan Pekalongan. Beberapa kota lain juga melakukan aksi yang sama. "Membela produk sendiri itu bermakna juga membela saudara sendiri, karena dengan begitu saudara kita memiliki penghasilan dan menghidupi karyawan yang bekerja membuat produk itu," jelas Sodik. Lebih dari itu, lanjut Sodik kita menumbuhkan ekonomi negeri sendiri dengan memulai dari membangun kehidupan ekonomi rakyatnya. 

Aksi ini akan melibatkan semua pihak, mulai dari pengusaha, mahasiswa, pelajar, pegawai, buruh dan semua lapisan masyarakat. "Indonesia itu tidak bisa kita bangun sendiri. Karena bangunan Indonesia tersusun dari banyak aspek, mulai dari suku, agama, ras, golongan, budaya dan lain-lain. Aksi ini akan kita lakukan bersama-sama sebagaimana pendahulu kita dulu membangunnya," tegas Sodik. Ketika ditanya apakah gerakan ini akan berhasil, Sodik berkata, "Tidak ada yang lain di dalam hati ini kecuali keyakinan bahwa ini akan berhasil. Pak Dirman dulu juga tidak tahu bagaimana hasil dari serangan umum yang mereka lakukan, tetapi mereka terus dan tetap berjuang. Karena perjuangan itulah yang akan mengantarkan hasil," kata Sodik dengan penuh keyakinan. Indonesia saat ini, kata Sodik membutuhkan banyak pejuang. Siapa pejuang itu? "Temuilah mereka dalam jiwa-jiwa orang-orang seperti Soekarno, Hatta, KH. Ahmad Dahlan, KH, Hasyim Asyarie, Sudirman, Natsir, Agus Salim, AA.Maramis dan lain-lain yang mereka itu lebih banyak memikirkan negara, bangsa dan orang lain daripada memikirkan dirinya sendiri," Sodik mengakhiri.
(AA)

Rabu, 08 Februari 2012

Asing Tongkrongi UU Indonesia

Surabaya, 08/02/2012. Roundtable Discussion Gerakan Beli Indonesia dan PPAD Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat) di Surabaya, Rabu siang mengungkap banyak fakta tentang keterjajahan Indonesia oleh bangsa asing hari ini. Bukan penjajahan fisik semata yang telah terjadi atau pasar yang telah dikuasai tetapi adalah jantung dari negeri ini yakni Undang-Undang yang mengatur kehidupan fundamental bangsa Indonesia. "Undang-undang dasar kita hanya tinggal 5 persen saja yang masih murni selebihnya sudah diobrak-abrik dalam bentuk amandemen," kata Prof. Edi Swasono, salah satu peserta diskusi. Sambil menunjukkan UUD 1945 yang asli dan UUD 2002 yang telah diamandemen, Edi mengatakan negara ini diambang kehancuran karena landasan konstitusional sudah sarat dengan intervensi pihak luar. UUD 1945 yang dihasilkan dari kejernihan berfikir bapak-bapak bangsa negeri ini dirubah begitu saja oleh anak-anak negeri yang sudah terjajah hidup dan fikirannya.

Bambang Budiono, seorang dosen Fisip Unair meminta kepada peserta lain untuk menelisik kembali Undang-Undang Otonomi Daerah yang telah membuat Indonesia menjadi fragmen kedaerahan yang menyebabkan seorang presiden hilang kekuasaan dan wewenangnya. "Saya memiliki fakta tentang adanya dua orang warga negara Jerman dan Belanda yang menawarkan konsep otonomi daerah kepada Indonesia ketika itu. Hari ini kita harus bertanya kepada mereka yang merumuskan konsep otonomi itu, darimana asal konsep itu?" katanya dengan nada tanya. Budiono mengungkapkan asing menguasai negara ini melalui berbagai cara, bahkan seorang intelektual kampuspun dapat menjadi antek asing setelah di sekolahkan ke luar negeri. Makanya opini, jurnal ilmiah yang dibuatnya sarat dengan muatan kepentingan asing yang menjadi sponsor di belakangnya. "Harusnya dia belajar ke negara itu untuk membangun bangsa sendiri, ini malah pulang menjadi agen negara lain dan menghianati negara sendiri. Inilah kerjaan para intelektual naif itu," ungkapnya.

Corong yang paling nyaring yang berteriak untuk asing itu, menurut Budiono adalah LSM yang mendapat dana dari negara sponsor. "Saya mendengar cerita bagaimana seorang asing penyandang dana mengumpulkan beberapa LSM dan memarahi mereka karena beberapa pasal tidak gol dalam pembahasan di DPR," ungkapnya. Maka, lanjut Budiono, tidak heran jika ada 72 UU yang dibuat di DPR diintervensi oleh pihak asing. Dalam keadaan carut marut ini, menurut Budiono, yang dapat meluruskan dan membawa bangsa ini bukanlah sistem demokrasi seperti yang ada selama ini tetapi seorang pemimpin kuat yang berkarakter.

KH. Sholahuddin Wahid, atau Gus Sholah melihat ada sebuah proses pendidikan yang gagal di negeri ini. Pendidikan karakter yang sering disebut-sebut oleh pejabat itu hanya indah di dalam konsep dan ucapan tetapi tidak di lapangan. Pendidikan sendiri dalam pandangan Gus Sholah sudah terjadi pembiaran dan pengabaian oleh negara, sehingga banyak warga negara tidak mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana yang diatur undang-undang. Tanpa menyebutkan bagaimana memperbaiki keadaan itu Gus Sholah mengatakan dirinya tetap memilih pulang ke Jombang untuk mengurusi pesanteren yang diwariskan oleh orang tuanya. Karena di lembaga pendidikan ini, apa-apa yang tidak ada di lembaga pendidikan lain, pesanteren mengajarkannya melalui cara hidup sehari-hari.

Sejumlah tokoh yang hadir dalam diskusi itu sebagian besar adalah tokoh Jawa Timur dengan beragam latar belakang, ulama, pengusaha, pensiunan, aktifis dan TNI yang sudah purnawira, termasuk ketua umumnya Letjend TNI Pur, Soeryadi. Salah satu tokoh TNI yang hadir adalah Jend.TNI purn. Wijoyo Suyono berusia 84 tahun yang juga mantan tentara pelajar Jawa Timur. Dalam kesempatan itu memberi wejangan agar kaum muda berbuat sesuatu untuk negeri ini. "Kami yang sudah sepuh ini hanya berharap dan berdoa agar bangsa dan negara kita selamat seperti dalam cita-cita kemerdekaan dulu. Dan semua itu ada di tangan para anak muda yang memiliki kecintaan dan kerelaan berkorban untuk bangsa dan negara," katanya dengan penuh harap. Dengan gaya dan pengungkapan masing-masing, semua tokoh yang hadir merisaukan tentang keadaan Indonesia saat ini, utamanya dominasi asing dan kehilangan kedaulatan Indonesia dari berbagai sisi.

Menanggapi tentang "curhat" para tokoh itu, pihak PPAD yang diwakili oleh Letjen.TNI purn. Kiki Syahnakri menegaskan perubahan di negeri ini harus dilakukan secara konstitusional agar tidak ada distorsi sejarah terhadap perjalanan bangsa. Karena itu, lanjut Kiki pihak-pihak yang ingin revolusi untuk menahan diri karena sangat mahal ongkos yang harus dibayar disamping memang syarat yang belum bisa terpenuhi untuk itu. "Revolusi itu bisa terjadi jika memenuhi 3 syarat , pimpinan yang kuat, dukungan yang bulat dan tujuan yang jelas," ungkap Kiki. Sementara itu Pemimpin Gerakan Beli Indonesia, Ir. H.Heppy Trenggono, Mkom menanggapi dinamika forum diskusi dengan sebuah ucapan terima kasih kepada para sesepuh yang telah bercerita banyak tentang sejarah dan perjalanan bangsa ini. "Bagaimana jika kisah dan sejarah seperti ini tidak ada lagi yang menceritakannya, maka generasi setelah ini tidak ada yang tahu dengan sejarah bangsanya sendiri. Karena hari perjalanan bangsa ini sudah sangat semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan," kata Heppy. Tentang keadaan kesejahteraan di Indonesia, Heppy menilai bahwa Indonesia memang hidup jauh di bawah kemampuannya. Menurutnya, seharusnya Indonesia tidak hidup dengan biaya Rp. 1.200 Triliyun per tahun. Angka itu sangat tidak layak untuk negara sebesar ini. "Itu disebabkan karena kita hidup dengan cara bangsa miskin," tegas Heppy. Banyak perilaku elit dan rakyat yang hidup dengan cara miskin, seperti korupsi membuang waktu sia-sia termasuk membiarkan kekayaan negara ini menguap tanpa menjadi apa-apa untuk negeri sendiri.

Diskusi yang berlangsung setengah hari di aula Fisip Unair itu dipandu oleh Aswandi As'an dari Beli Indonesia. Acara serupa akan juga diadakan di Jogjakarta dan beberapa kota besar lain, setelah sebelumnya diadakan di Bandung, Jawa Barat. (AA)

Selasa, 31 Januari 2012

Beli Indonesia Itu Ungkapan Rasa Syukur



Magelang, 30/01/2012. Pernahkah kita memikirkan bagaimana proses panjang di belakang sepiring nasi yang kita makan setiap hari. Atau secangkir kopi dan teh yang kita minum? Hampir tidak terbayang bahkan kerap kita melupakannya. Padahal sebelum menjadi sepiring nasi, secangkir kopi atau teh, ada perjalanan panjang yang melibakan banyak orang hingga petani yang menanamnya. Maka seharusnya apa-apa yang kita makan atau konsumsi harus mendatangkan banyak kebaikan dan keberkahan buat diri kita sendiri dan orang lain. "Inilah makna Beli Indonesia yang disampaikan Pak Heppy tadi. Makanya sebelum makan kita diminta berdoa untuk keberkahan atas semua rezeki yang kita miliki dan terhindar dari api neraka," kata KH. Ahmad Dahlan, kyai sederhana asal Magelang yang dikenal sebagai pembela kaum papa. Berkah itu, kata Kyai Dahlan adalah bertambahnya kebaikan. Bertambahnya kebaikan itu akan membuat kita bahagia dan terhindar dari api neraka atau kesengsaraan.

"Beli Indonesia itu adalah ungkapan rasa syukur, bersyukur kepada Allah, bersyukur kepada mereka yang telah menghidangkan dan juga bersyukur kepada mereka yang telah menanam makanan itu," Kyai Dahlan menambahkan. Kesulitan yang dialami banyak orang temasuk bangsa kita salah satunya karena tidak bisa bersyukur. Sumber daya alam yang luar biasa kepada bangsa ini tidak menjadi berkah untuk bangsa sendiri tetapi menjadi menjadi kekayaan buat orang lain. Karena apa? karena kita tidak bisa bersyukur kepada saudara sendiri. "Maka Beli Indonesia itu cara kita bersyukur atau berterima kasih kepada saudara sendiri yang telah menanam, menjaga dan mengolah apa-apa yang kita konsumsi," jelas Kyai Dahlan. Dengan demikian maka apa-apa yang kita makan mendatangkan kebaikan untuk saudara kita itu. Sehingga mereka dapat hidup layak, bisa menyekolahkan anaknya dan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. 

Kyai yang bernama lengkap KH. Ahmad Dahlan Haryo Purboyo adalah seorang pendidik yang mengelola beberapa yayasan yang membawahi beberapa lembaga pendidikan. Juga memiliki yayasan khusus mengelola anak-anak yatim dan dhuafa mulai dari pendidikannya, ketrampilan hingga penguasaan teknologi sebagai bekal hidup mereka kelak. Kegiatan lain yang ditekuni tokoh yang tinggal di Ringin Anom, Magelang ini adalah membangun ekonomi warga di lereng Merapi dan Merbabu. Pertemuannya dengan Pemimpin Gerakan Beli Indonesia, Heppy Trenggono, Senin pagi itu adalah inisiatif orang-orang dekat beliau dengan tim gerakan Beli Indonesia Jogjakarta beberapa waktu sebelumnya. Pertemuan itu berlangsung di sebuah masjid dekat rumahnya yang dihadiri beberapa tokoh dan aktifis sosial ekonomi masyarakat dari kota sekitar, Muntilan, Temanggung, Salatiga, Wonosobo dan lain-lain. 

Bertemu dengan Pemimpin dan Tim Gerakan Beli Indonesia, kata Kyai Dahlan seperti bertemu dengan kawan seperjuangan yang sudah lama tidak bersua. Perjuangannya membangun masyarakat bawah di daerah Magelang dan sekitarnya seperti mendapat energi besar untuk berlari kencang. Menurutnya, kata Beli Indonesia itu adalah kata singkat yang mengandung banyak makna dan kekuatan untuk keluar dari masalah yang melilit bangsa ini. "Dari mana kita memulainya? Mulai dengan Beli Indonesia," katanya mengakhiri. (AA)

Rabu, 11 Januari 2012

Mobil Esemka Dan Mentalitas Bangsa



Dimuat di harian KOMPAS tanggal 11 Januari 2012

Beberapa teman bertanya, pak apa yang harus kita lakukan untuk mendorong agar isu tentang mobil Esemka ini jadi produktif? Saya bilang, order mobilnya biar semua jadi semangat! Ketika isu ini muncul, sebagian besar berkomentar mendukung, hanya satu dua pejabat yang bersikap agak sinis, namun yang saya ingin garis bawahi dalam kasus ini adalah berkembangnya pembicaraan yang tidak terarah. Banyak pertanyaan seputar teknis, seberapa besar komponen yang dikandung? Apakah ini rakitan atau buatan sendiri? bagaimana dengan lisensinya, apakah layak digunakan atau tidak?

Inilah persoalan besar bangsa kita hari ini, kita tidak mampu menangkap substansi dari apa yang terjadi di negeri kita. Saya menyampaikan kepada teman-teman termasuk pers agar persoalan teknis dalam kasus ini tidak dikuliti lebih dalam, mengapa? Karena begitu kita memperbicangkan persoalan teknis mobil esemka, maka akan ada seribu alasan yang membuat masuk akal untuk kita tidak menggunakannya.

Jangankan mobil esemka yang jelas-jelas merupakan produk yang membutuhkan teknologi, bahkan air minum isi ulang pun, produk nyaris tanpa teknologi, pernah ramai ramai kita jauhi karena sebuah institusi pendidikan tinggi negeri pada saat itu membeberkan secara heroik bahwa air minum isi ulang mengandung bakteri ini dan itu, saya baru tahu belakangan bahwa riset itu disponsori oleh perusahaan air minum dalam kemasan milik asing yang hari ini menguasai pangsa pasar terbesar di Indonesia, bahkan bisa dikatakan memonopoli pasar air minum dalam kemasan di negeri kita.

Bagi bangsa Indonesia masalah sesungguhnya yang sedang kita hadapi sama sekali bukan masalah teknis, apakah bangsa kita bisa membuat produk atau tidak, apakah produk bangsa Indonesia bisa bersaing secara kualitas atau tidak, apakah harganya lebih murah atau tidak, itu semua masalah teknis. Persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia hari ini, sehingga produk kita tidak ada di pasar, sehingga bangsa kita miskin, adalah persoalan mentalitas. Mentalitas pembelaan terhadap produk bangsa kita sendiri! Kita belum bisa membedakan produk mana yang seharusnya dibela, apakah produk bangsa kita sendiri atau produk bangsa lain.

Coba lihat bagaimana sebuah BUMN seperti PT. Merpati Nusantara dengan gagah berani membela pesawat buatan Cina yang tidak berlisensi, padahal kita sendiri mampu membuat pesawat. Juga lihat bagaimana institusi pendidikan tinggi negeri yang pernah mempublikasikan hasil risetnya tentang air isi ulang dan meruntuhkan pengusaha-pengusaha kecil di negeri kita sendiri pada kesempatan lain berperilaku membingungkan dengan mati-matian menutup rapat identitas Perusahaan asing dan merk produk asingnya ketika riset mereka menemukan bahwa produk-produk susu yang diproduksi oleh perusahaan asing tersebut berbakteri dan sangat merugikan masyarakat.

Tidak jelas apa yang dibela! Itulah substansi dari permasalah bangsa kita. Ketidak berdayaan produk dalam negeri hanyalah sebuah indikasi, indikasi dari pembelaan yang tidak terjadi di negeri ini. Kita belum bisa memahami bahwa produk asing artinya ekonomi asing, produk Indonesia adalah ekonomi Indonesia.

Pembangungan industri di negeri kita menjadi kedodoran setengah mati karena produk anak- anak kita tidak dibela di negeri sendiri. pasar yang sangat besar tidak memberikan makna bagi kemajuan ekonomi bangsa kita sendiri.

Membangun industri tidak bisa dimulai dari industri itu sendiri karena Industri tidak menentukan pasar, tetapi pasar yang menentukan industri, produk tidak bisa mendikte customer, customerlah yang mendikte produk. Kalau bangsa Indonesia tidak mau menggunakan produk milik bangsa sendiri, maka produk dalam negeri akan runtuh, itulah yang terjadi hari ini, sehingga jumlah pengusaha di Indonesia sangat kecil hanya 0.28% (China 6%, Amerika 11%, Singapore 9%), anak-anak kita yang merintis usaha gulung tikar setiap hari, dan pasar dipenuhi oleh produk-produk asing.

Kesediaan Walikota Solo menggunakan mobil dinas buatan Sekolah Menengah Kejuruan adalah sebuah contoh konkrit bagaimana seharusnya seorang walikota bersikap terhadap produk anak bangsanya. Jelas apa yang dibela!

Bukan pertanyaannya apakah mobil tersebut layak atau tidak, pertanyaannya mau pakai atau tidak!

Jika minggu-minggu ini kita mendengar walikota tersebut dengan mobil esemka-nya, beberapa minggu yang lalu kita mendengar Gubernur Jawa Timur menolak beras impor untuk raskin, kita juga mendengar beberapa bulan yang lalu Gubernur Jawa Barat melarang semua staf di lingkungan pemda menggunakan sepatu impor bahkan beliau menghukum mereka dengan push up 200 kali jika ketahuan menggunakan sepatu impor. Beberapa hari yang lalu Bupati Kulonprogo menyatakan gerakan "Beli Kulonprogo" dan mengkampanyekan setiap hari agar masyarakat kulonprogo menggunakan produk-produk kulonprogo sendiri untuk membangkitkan ekonomi daerahnya.

Pada sisi lain kita sedih mendengar bahwa petani kentang di Dieng hari ini tidak bisa menjual kentangnya karena dihajar oleh kentang impor yang harga jualnya Rp. 2.750/kg, jauh lebih rendah dari ongkos produksi mereka. Petani bawang di brebes bergelimpangan karena bawang dari Cina membanjiri pasar bak air bah dengan harga yang juga tidak kalah murahnya. Demikian juga petani garam, nelayan, dan pedagang ikan. Mereka yang dulu mandiri secara ekonomi saat ini sedang menghadapi serangan gelombang kemiskinan baru di negeri ini.


Kesadaran tentang "apa yang kita bela" sepertinya sedang terjadi pada beberapa Pemimpin Daerah yang setiap hari melihat keadaan ekonomi rakyatnya, namun kesadaran yang setara justru belum kita lihat secara nyata pada pemerintah pusat yang sedang sibuk berbicara tentang pertumbuhan 6.5%, meskipun lupa menunjukkan dimana dan siapa yang mengalami pertumbuhan tersebut. Karena kita tahu petani kita sedang bertumbangan, bukan sedang bertumbuh.


Pasar bebas jelas bukan segala-galanya, juga bukan sesuatu yang membuat kita tidak berkutik. Pasar bebas bisa kita siasati dengan cerdas, cerdas artinya tidak membiarkan produk asing masuk begitu saja tanpa strategi, sehingga menghancurkan produk anak-anak kita sendiri.

Jadi, kalau standar pembelaan seorang walikota adalah mobil esemka, maka standar pembelaan Direksi BUMN seperti PT. Merpati Nusantara adalah membeli pesawat dari IPTN, demikian juga dengan Pertamina, Telkom, dan BUMN lain yang seharusnya mengutamakan supplier dan produk anak bangsa sendiri. Standar pembelaan menteri adalah tidak menjual BUMN atau Go Public, seorang menteri melakukan pembelaan dengan mencegah dan melindungi pasar dalam negeri dengan segala cara dari serangan arus barang impor, menggunakan sebesar-besarnya anggaran pembelian untuk produk anak bangsa sendiri. Sementara standar pembelaan seorang Presiden adalah mengembalikan Freeport, mengembalikan tambang-tambang minyak dan gas yang sudah lama diserahkan kepada asing agar kembali kepada bangsa sendiri. Beli Indonesia!